Islamic Widget

Kamis, 12 Agustus 2010

Utang Swasta Meningkat 92,4%


Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah utang luar negeri swasta hingga semester I/2010 mencapai USD15,7 miliar atau naik 92,4% dibandingkan periode yang sama 2009 sebesar USD8,25 miliar. Peningkatan tersebut dinilai mencerminkan kegiatan sektor riil yang semakin membaik.

”Prospek perekonomian Indonesia yang positif juga turut mempengaruhi kepercayaan asing untuk berinvestasi di dalam negeri,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi A Johansyah di Jakarta, Rabu (11/8/2010).

Peningkatan pinjaman tersebut terutama akibat kontraksi selama semester I/2009 yang disebabkan krisis perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage). Adapun perolehan komitmen baru pada 2010 melebihi periode yang sama 2008 sebesar USD14,8 miliar, ketika krisis subprime mortgage belum berdampak signifikan.

Difi menjelaskan, sektor ekonomi yang memiliki prospek cukup baik antara lain sektor pertambangan dan penggalian; serta sektor listrik,gas,dan air bersih.Hal ini terlihat dari akumulasi perolehan komitmen baru selama semester I/2010 untuk kedua sektor tersebut yang meningkat masing-masing 404,6% dan 121,4% dibandingkan periode yang sama tahun 2009.

”Peningkatan antara lain disebabkan oleh kenaikan permintaan batu bara terutama dari China dan India, serta pembangunan beberapa proyek pembangkit listrik. Indikasi meningkatnya aktivitas sektor swasta juga tercermin dari komitmen baru yang mayoritas digunakan untuk modal kerja,” ujar Difi.

Selama semester I/2010,mayoritas komitmen utang luar negeri baru sebesar 64,6% diperoleh dari kreditor lainnya. Sedangkan sisanya berasal dari perusahaan induk dan afiliasi sebesar 35,4%.

”Hal ini mencerminkan minat investor kepada sektor swasta Indonesia semakin membaik meskipun tidak memiliki hubungan kepemilikan,” kata Difi.

Mayoritas komitmen baru selama semester I/2010 tersebut diterima dalam bentuk instrumen pembiayaan perdagangan (trade financing), yakni sebesar 44,6% yang meningkat 65,2% dibandingkan akumulasi periode yang sama tahun 2009. Peningkatan komitmen baru trade financing sejalan dengan meningkatnya aktivitas impor nonmigas selama periode tersebut yang tercatat sebesar 41,9%.

Menurut ekonom Aviliani, kenaikan pinjaman swasta luar negeri tersebut merupakan hal yang wajar. Hal itu disebabkan karena banyak dana menganggur (idle) di luar negeri.

”Sementara kalau bermain di pasar modal kondisinya sedang hancur,”paparnya.

Pinjaman sektor swasta dari luar negeri tersebut merupakan dana murah yang biasanya akan digunakan oleh pihak swasta dalam modal kerja.Sebenarnya,kata dia, pihak swasta pun bisa mengambil dari dana perbankan di dalam negeri. Namun, karena kondisi bunga perbankan di dalam negeri tidak kompetitif,maka pihak swasta cenderung mengambil dana murah dari luar negeri.

Kendati demikian, pinjaman luar negeri tersebut harus diimbangi dengan sisi keluarannya (output). Dengan maraknya dana asing yang masuk tersebut otomatis akan menyebabkan kondisi rupiah akan selalu menguat.

”Risiko kenaikan mata uang rupiah inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah sekaligus BI. Jangan sampai kondisinya seperti 1998,”ungkapnya.

Bagaimanapun juga, kata Aviliani, rupiah yang terlalu menguat juga akan tidak baik bagi eksportir. Begitu juga dengan kondisi makronya. Di sisi lain, utang pemerintah yang mengecil ternyata justru tidak diimbangi dengan utang swasta yang cenderung membesar.

”Jika tidak diimbangi dan dipikirkan oleh pemerintah, rupiah bisa jatuh dan daya beli akan anjlok,”bebernya.

Boros Terbitkan SBN

Di sisi lain, pemerintah dinilai terlalu boros dalam menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) karena tidak sebanding dengan realisasi penggunaannya dalam APBN. ”Kebijakan front loading management dalam pengelolaan utang Indonesia merupakan salah satu penyebab dari meningkatnya dengan pesat utang Indonesia yang berasal dari surat berharga negara,” kata anggota Komisi XI DPR Arif Budimata. Arif menyebutkan, utang dalam bentuk SBN meningkat menjadi USD116,37 miliar dari total utang Indonesia hingga Juli 2010 yang mencapai angka USD181,59 miliar atau setara dengan Rp1.625 triliun.

Utang dalam bentuk SBN meningkat, jika dibandingkan 2009 yang hanya mencapai USD104,2 miliar. Dengan kondisi tersebut, Arif merekomendasikan agar kebijakan front loading management perlu diperbaiki. ”Pengalaman dua tahun terakhir, yaitu 2008 dan 2009, kebijakan hiperaktif dalam menerbitkan SBN berakibat terjadinya Silpa (sisa lebih penggunaan anggaran) yang cukup besar di APBN tahun anggaran tersebut,” katanya.

Tidak ada komentar: